SULTAN HAMID II : SEJARAH LAMBANG GARUDA PANCASILA

Gambar di atas itu merupakan lambang negara Indonesia. Lambang negara berupa seekor Burung Garuda berwarna emas yang berkalungkan perisai yang di dalamnya bergambar simbol-simbol Pancasila, dan mencengkeram seutas pita putih yang bertuliskan "BHINNEKA TUNGGAL IKA". Sesuai dengan desainnya, lambang tersebut bernama resmi Garuda Pancasila. Garuda merupakan nama burung itu sendiri, sedangkan Pancasila merupakan dasar negara Indonesia yang disimbolkan dalam gambar-gambar di dalam perisai yang dikalungkan itu. Nama resmi Garuda Pancasila yang tercantum dalam Pasal 36A, UUD 1945. Perancangan lambang negara dimulai pada Desember 1949, beberapa hari setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat oleh Belanda. Kemudian pada tanggal 10 Januari 1950, dibentuklah Panitia Lencana Negara yang bertugas menyeleksi usulan lambang negara. Dari berbagai usul lambang negara yang diajukan ke panitia tersebut, rancangan karya Sultan Hamid II lah yang diterima.

Sultan Hamid II (1913–1978) yang bernama lengkap Syarif Abdul Hamid Alkadrie merupakan sultan dari Kesultanan Pontianak, yang pernah menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan juga Menteri Negara Zonder Portofolio pada era Republik Indonesia Serikat. Setelah disetujui, rancangan itupun disempurnakan sedikit demi sedikit atas usul Presiden Soekarno dan masukan berbagai organisasi lainnya, dan akhirnya pada bulan Maret 1950, jadilah lambang negara seperti yang kita kenal sekarang.

Rancangan final lambang negara itupun akhirnya secara resmi diperkenalkan ke masyarakat dan mulai digunakan pada tanggal 17 Agustus 1950 dan disahkan penggunaannya pada 17 Oktober 1951 oleh Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo melalui PP 66/1951, dan kemudian tata cara penggunaannya diatur melalui PP 43/1958. Meskipun telah disahkan penggunaannya sejak tahun 1951, tidak ada nama resmi untuk lambang negara itu, sehingga muncul berbagai sebutan untuk lambang negara itu, seperti Garuda Pancasila, Burung Garuda, Lambang Garuda, Lambang Negara, atau hanya sekedar Garuda. Nama Garuda Pancasila baru disahkan secara resmi sebagai nama resmi lambang negara pada tanggal 18 Agustus 2000 oleh MPR melalui amandemen kedua UUD 1945.

Makna dan Arti Lambang

Garuda Pancasila terdiri atas tiga komponen utama, yakni Burung Garuda, perisai, dan pita putih.

Burung Garuda
 
Burung Garuda merupakan burung mistis yang berasal dari Mitologi Hindu yang berasal dari India dan berkembang di wilayah Indonesia sejak abad ke-6. Burung Garuda itu sendiri melambangkan kekuatan, sementara warna emas pada burung garuda itu melambangkan kemegahan atau kejayaan. Pada burung garuda itu, jumlah bulu pada setiap sayap berjumlah 17, kemudian bulu ekor berjumlah 8, bulu pada pangkal ekor atau di bawah perisai 19, dan bulu leher berjumlah 45. Jumlah-jumlah bulu tersebut jika digabungkan menjadi 17-8-1945, merupakan tanggal di mana kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Perisai yang dikalungkan melambangkan pertahanan Indonesia. Pada perisai itu mengandung lima buah simbol yang masing-masing simbol melambangkan sila-sila dari dasar negara Pancasila. Pada bagian tengah terdapat simbol bintang bersudut lima yang melambangkan sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa. Lambang bintang dimaksudkan sebagai sebuah cahaya, seperti layaknya Tuhan yang menjadi cahaya kerohanian bagi setiap manusia. Sedangkan latar berwarna hitam melambangkan warna alam atau warna asli, yang menunjukkan bahwa Tuhan bukanlah sekedar rekaan manusia, tetapi sumber dari segalanya dan telah ada sebelum segala sesuatu di dunia ini ada.

Di bagian kanan bawah terdapat rantai yang melambangkan sila kedua Pancasila, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Rantai tersebut terdiri atas mata rantai berbentuk segi empat dan lingkaran yang saling berkait membentuk lingkaran. Mata rantai segi empat melambangkan laki-laki, sedangkan yang lingkaran melambangkan perempuan. Mata rantai yang saling berkait pun melambangkan bahwa setiap manusia, laki-laki dan perempuan, membutuhkan satu sama lain dan perlu bersatu sehingga menjadi kuat seperti sebuah rantai. Di bagian kanan atas terdapat gambar pohon beringin yang melambangkan sila ketiga, Persatuan Indonesia. Pohon beringin digunakan karena pohon beringin merupakan pohon yang besar di mana banyak orang bisa berteduh di bawahnya, seperti halnya semua rakyat Indonesia bisa "berteduh" di bawah naungan negara Indonesia. Selain itu, pohon beringin memiliki sulur dan akar yang menjalar ke mana-mana, namun tetap berasal dari satu pohon yang sama, seperti halnya keragaman suku bangsa yang menyatu di bawah nama Indonesia.

Kemudian, di sebelah kiri atas terdapat gambar kepala banteng yang melambangkan sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Lambang banteng digunakan karena banteng merupakan hewan sosial yang suka berkumpul, seperti halnya musyawarah di mana orang-orang harus berkumpul untuk mendiskusikan sesuatu. Dan di sebelah kiri bawah terdapat padi dan kapas yang melambangkan sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Padi dan kapas digunakan karena merupakan kebutuhan dasar setiap manusia, yakni pangan dan sandang sebagai syarat utama untuk mencapai kemakmuran yang merupakan tujuan utama bagi sila kelima ini.

Pada perisai itu terdapat garis hitam tebal yang melintang di tengah-tengah perisai. Garis itu melambangkan garis khatulistiwa yang melintang melewati wilayah Indonesia. Warna merah dan putih yang menjadi latar pada perisai itu merupakan warna nasional Indonesia, yang juga merupakan warna pada bendera negara Indonesia. Warna merah melambangkan keberanian, sedangkan putih melambangkan kesucian.

Pita dan Semboyan Negara

Pada bagian bawah Garuda Pancasila, terdapat pita putih yang dicengkeram, yang bertuliskan "BHINNEKA TUNGGAL IKA" yang ditulis dengan huruf latin, yang merupakan semboyan negara Indonesia. Perkataan bhinneka tunggal ika merupakan kata dalam Bahasa Jawa Kuno yang berarti "berbeda-beda tetapi tetap satu jua". Perkataan itu diambil dari Kakimpoi Sutasoma karangan Mpu Tantular, seorang pujangga dari Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Perkataan itu menggambarkan persatuan dan kesatuan Nusa dan Bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai pulau, ras, suku, bangsa, adat, kebudayaan, bahasa, serta agama.

Kesultanan Tidore, dari Caliati Hingga Sultan Nuku

 Tidore adalah sebuah nama pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Halmahera dan di sebelah selatan Pulau Ternate. Raja atau kolano pertama yang menggunakan gelar Sultan di Tidore adalah Caliati atau Jamaluddin yang memerintah pada tahun 1495 hingga 1512. Sebelumnya tidak terdapat catatan sejarah siapa kolano yang berkuasa sebelum Caliati. Namun sejarawan Belanda F.S.A. de Clerq mencatat pada tahun 1334 Tidore dipimpin oleh seseorang yang bernama Hasan Syah. Dari nama kolano dan gelar sultan yang digunakan di wilayah Tidore nampaknya pengaruh Islam telah tersebar disana secara luas. Kesultanan Tidore merupakan satu dari empat kerajaan besar yang berada di Maluku, tiga lainnya adalah Ternate, Jaijolo dan Bacan. Namun hanya Tidore dan Ternate-lah yang memiliki ketahanan politik, ekonomi dan militer. Keduanya pun bersifat ekspansionis, Ternate menguasai wilayah barat Maluku sedangkan Tidore mengarah ke timur dimana wilayahnya meliputi Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Maba, Patani, Seram Timur, Rarakit, Werinamatu, Ulisiwa, Kepulauan Raja Empat, Papua daratan dan sekitarnya. Sultan kedua Tidore adalah Almansur yang naik takhta pada tahun 1512 dan kemudian ia menetapkan Mareku sebagai pusat pemerintahan. Ia adalah Sultan yang menerima kedatangan Spanyol di Tidore untuk beraliansi secara strategis sebagai jawaban atas aliansi yang dibangun oleh Ternate dan Portugis. Spanyol tiba di Tidore pada tanggal 8 November 1521, turut serta dalam rombongan kapal armada Magellan, Pigafetta, seorang etnolog dan sejarawan Italia.

Sultan Almansur memberikan tempat bagi Spanyol untuk melakukan perdagangan di Tidore. Sepotong kain merah ditukar dengan cengkih satu bahar (550 pon), 50 pasang gunting dengan satu bokor cengkih, tiga buah gong dengan dua bokor cengkih. Dengan cepat cengkih di seluruh Tidore ludes, sehingga harus dicari di tempat lain seperti Moti, Makian dan Bacan. Demikianlah kerjasama antara Tidore dan Spanyol semakin berkembang, tidak hanya di bidang perekonomian tetapi juga di bidang militer.

Pada tahun 1524, didasari persaingan ekonomi berupa penguasaan wilayah perdagangan rempah-rempah, pasukan gabungan Ternate dan Portugis yang berjumlah 600 orang menyerbu Tidore dan berhasil masuk ke ibukota Mareku. Hal yang menarik adalah, meski serangan gabungan tersebut mencapai ibukota Tidore, mereka tidak dapat menguasai Tidore sepenuhnya dan berhasil dipukul mundur beberapa waktu kemudian. Dua tahun berikutnya (1526) Sultan Almansur wafat tanpa meninggalkan pengganti.

Kegagalan serangan tersebut berujung dilakukannya perjanjian Zaragosa antara Raja Portugis, John III dan Raja Spanyol, Charles V pada tahun 1529. Dengan imbalan sebesar 350.000 ducats, Charles V bersedia melepaskan klaimnya atas Maluku, namun demikian hal tersebut tidak serta merta menyebabkan seluruh armada Spanyol keluar dari Maluku.

Pada tahun yang sama dengan Perjanjian Zaragosa, putera bungsu Almansur, Amiruddin Iskandar Zulkarnaen, dilantik sebagai Sultan Tidore dengan dibantu oleh Kaicil Rade seorang bangsawan tinggi Kesultanan Tidore sebagai Mangkubumi. Dimasanya terjadi tribulasi, ketika Gubernur Portugis di Ternate, Antonio Galvao, memutuskan untuk kembali meyerang Tidore. Pasukan Portugis mendapatkan kemenangan atas Tidore pada tanggal 21 Desember 1536 dan mengakibatkan Tidore harus menjual seluruh rempah-rempahnya kepada Portugis dengan imbalan Portugis akan meninggalkan Tidore.

Pada tahun 1547, Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnaen wafat dan digantikan oleh Sultan Saifuddin, demikian pula tongkat estafet kesultanan berikutnya, berturut-turut Kie Mansur, Iskandar Gani dan Gapi Baguna hingga tahun 1599. Pada era tersebut tidak terjadi sesuatu yang luar biasa di Kesultanan Tidore, kecuali pada tahun 1578 Portugis membangun Benteng “Dos Reis Mogos” di Tidore. Namun demikian benteng tersebut tidak mencampuri urusan internal kesultanan.

Kejadian penting lainnya yang patut dicatat adalah terjadinya unifikasi kekuatan Portugis dan Spanyol di Maluku di bawah pimpinan Raja Spanyol pada tahun 1580. Sehingga demikian semua benteng Portugis dan Spanyol di seluruh kepulauan Maluku dapat digunakan oleh kedua belah pihak.

Unifikasi ini sebenarnya didahului oleh kejadian sebelumnya, yaitu penaklukan benteng Portugis-Gamlamo di Ternate oleh Sultan Babullah, Sultan Ternate terbesar, pada tanggal 26 Desember 1575. Menyerahnya Gubernur Portugis terakhir di Maluku, Nuno Pareira de Lacerda, menunjukkan berakhirnya kekuasaan Portugis di Nusantara. Hal ini mengakibatkan mau tidak mau armada perang Portugis membentuk persekutuan dengan Spanyol di kepulauan Maluku.

Pada tanggal 26 Maret 1606, Gubernur Jenderal Spanyol di Manila, Don Pedro da Cunha, mulai membaca gerak-gerik VOC-Belanda memperluas wilayah dagangnya hingga Maluku. Karena merasa terancam dengan kehadiran armada dagang VOC-Belanda yang mulai menjalin kerjasama dengan Kesultanan Ternate, ia memimpin pasukan menggempur Benteng Gamlamo tentu saja dengan bantuan dari Tidore yang pada waktu itu dipimpin oleh Sultan Mole Majimu.

Spanyol berhasil menguasai Benteng Gamlamo di Ternate, tetapi tidak lama setelah itu VOC Belanda berhasil pula membuat benteng yang kemudian disebut sebagai “Fort Oranje” pada tahun 1607 di sebelah timur laut Benteng Gamlamo serta membangun garis demarkasi militer dengan Spanyol. Paulus van Carden ditujuk sebagai Gubernur Belanda pertama di Kepulauan Maluku.

Ketika Sultan Tidore ke 12 memerintah yaitu Sultan Saifudin, pada tahun 1663 secara mengejutkan Spanyol menarik seluruh kekuatannya dari Ternate, Tidore dan Siau yang berada di Sulawesi Utara ke Filipina. Gubernur Jenderal Spanyol yang berada Manila, Manrique de Lara, membutuhkan semua kekuatan untuk mempertahankan Manila dari serangan bajak laut Cina, Coxeng. Gubernur Spanyol di Maluku, Don Francisco de Atienza Ibanez, nampak meninggalkan kepulauan Maluku pada bulan Juni 1663. Maka berakhirlah kekuasaan Spanyol di Kepulauan Maluku.

Dengan tiadanya dukungan militer dari Spanyol, otomatis kekuatan Tidore melemah dan VOC-Belanda menjadi kekuatan militer terbesar satu-satunya di kepulauan yang kaya dengan rempah-rempah itu. Akhirnya Sultan Saifudin kemudian melakukan perjanjian dengan Laksamana Speelman dari VOC-Belanda pada tanggal 13 Maret 1667 yang mana isinya adalah : (1) VOC mengakui hak-hak dan kedaulatan Kesultanan Tidore atas Kepulauan Raja Empat dan Papua daratan (2) Kesultanan Tidore memberikan hak monopoli perdagangan rempah-rempah dalam wilayahnya kepada VOC.

Batavia kemudian mengeluarkan Ordinansi untuk Tidore yang membatasi produksi cengkeh dan pala hanya pada Kepulauan Banda dan Ambon. Di luar wilayah ini semua pohon rempah diperintahkan untuk dibasmi. Pohon-pohon rempah yang ‘berlebih’ ditebang untuk mengurangi produksi rempah sampai seperempat dari masa sebelum VOC-Belanda memegang kendali perdagangan atas Maluku.

Apa yang dilakukan oleh VOC-Belanda tersebut, yaitu memusnahkan atau eradikasi pohon-pohon cengkih di Kepulauan Maluku, disebut sebagai “Hongi Tochten”. Kesultanan Ternate sebenarnya telah terlebih dahulu mengadakan perjanjian yang berkenaan dengan “Hongi Tochten” pada tahun 1652 kemudian disusul oleh Tidore beberapa waktu berikutnya setelah Tidore mengakui kekuatan ekonomi-militer Belanda di Maluku. Pihak kesultanan menerima imbalan tertentu (recognitie penningen) dari pihak VOC akibat operasi ini. “Hongi Tochten” dilakukan akibat banyaknya penyelundup yang memasarkan cengkih ke Eropa sehingga harga cengkih menjadi turun drastis.

Sepeninggal Sultan Saifudin, Kesultanan Tidore semakin melemah. Banyaknya pertentangan dan pemberontakan di kalangan istana kesultanan menyebabkan Belanda dengan begitu mudah mencaplok sebagian besar wilayah Tidore. Hal ini mencapai puncaknya hingga pemerintahan Sultan Kamaluddin (1784-1797), dimana sejarawan mencatat bahwa sultan ini memiliki perangai yang kurang baik. Namun demikian lambat laun situasi mulai berubah ketika Tidore memiliki Sultan yang terbesar sepanjang sejarah mereka yaitu Sultan Nuku.

Pada tahun 1780, Nuku memproklamasikan dirinya sebagai Sultan Tidore dan menyatakan bahwa kesultanan-nya sebagai wilayah yang merdeka lepas dari kekuasaan VOC-Belanda. Kesultanan Tidore yang dimaksudkan olehnya meliputi semua wilayah Tidore yang utuh yaitu : Halmahera Tengah dan Timur, Makian, Kayoa, Kepulauan Raja Ampat, Papua Daratan, Seram Timur, Kepulauan Keffing, Geser, Seram Laut, Kepulauan Garang, Watubela dan Tor.

Setelah berjuang beberapa tahun, Sultan Nuku memperoleh kemenangan yang gemilang. Ia berhasil membebaskan Kesultanan Tidore dari kekuasaan Belanda dan mengembalikan pamornya. Penghujung abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 adalah era keemasan Tidore di bawah Nuku. Pada titik ini, kebesaran Sultan Nuku dapat dibandingkan dengan keagungan Sultan Babullah yang telah mengusir Portugis dari Ternate.

Kemenangan-kemenangan yang diraih Sultan Nuku juga tidak lepas dari kondisi politik yang terjadi di negeri Belanda. Tahun 1794, Napoleon Bonaparte menyerbu Belanda yang mengakibatkan Raja Willem V mengungsi ke Inggris. Selama menetap di Inggris, ia mengeluarkan instruksi ke seluruh Gubernur Jenderal daerah jajahannya agar menyerahkan daerahnya ke Inggris supaya tidak jatuh ke tangan Perancis. Tahun 1796, Inggris menduduki. Ditambah dengan bubarnya VOC pada Desember 1799, maka hal ini semakin memperlemah kedudukan Belanda di Kepulauan Maluku.

Tetapi pada tanggal 14 November 1805, Tidore kehilangan seorang sultan yang pada masa hidupnya dikenal sebagai “Jou Barakati” atau di kalangan orang Inggris disapa dengan “Lord of Forrtune”. Wafatnya Sultan Nuku dalam usia 67 tahun tidak hanya membawa kesedihan bagi rakyat Malaku, tetapi juga memberikan kedukaan bagi rakyat Tobelo, Galela dan Lolada yang telah bergabung ke dalam barisan Nuku sejak awal perjuangannya.

Selain memiliki kecerdasan dan karisma yang kuat, Sultan Nuku terkenal akan keberanian dan kekuatan batinnya. Ia berhasil mentransformasi masa lalu Maluku yang kelam ke dalam era baru yang mampu memberikan kepadanya kemungkinan menyeluruh untuk bangkit dan melepaskan diri dari segala bentuk keterikatan, ketidakbebasan dan penindasan.

Syafrudin Prawiranegara, Presiden yang Terlupakan


Sebagai penjabat presiden,umumnya orang Indonesia hanya mengenal Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putrie dan Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal masih ada dua lagi presiden Indonesia dan jarang sekali disebut. Yakni Syafrudin Prawiranegara dan Mr. Asaat. Syafruddin Prawiranegara, atau juga ditulis Sjafruddin Prawiranegara lahir di Banten, 28 Februari 1911. Beliau adalah pejuang pada masa kemerdekaan Republik Indonesia yang juga pernah menjabat sebagai Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) ketika pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda saat Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948.

Di masa kecilnya akrab dengan panggilan “Kuding”, dalam tubuh Syafruddin mengalir darah campuran Banten dan Minang. Buyutnya, Sutan Alam Intan, masih keturunan Raja Pagaruyung di Sumatera Barat, yang dibuang ke Banten karena terlibat Perang Padri. Menikah dengan putri bangsawan Banten, lahirlah kakeknya yang kemudian memiliki anak bernama R. Arsyad Prawiraatmadja. Itulah ayah Kuding yang, walaupun bekerja sebagai jaksa, cukup dekat dengan rakyat, dan karenanya dibuang Belanda ke Jawa Timur. Kuding, yang gemar membaca kisah petualangan sejenis Robinson Crusoe, memiliki cita-cita tinggi — “Ingin menjadi orang besar,” katanya. Itulah sebabnya ia masuk Sekolah Tinggi Hukum (sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia) di Jakarta (Batavia).

Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.

kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra. Ketika Belanda melakukan agresi militernya yang kedua di Indonesia pada tanggal 19 Desember 1949, Soekarno-Hatta sempat mengirimkan telegram yang berbunyi, “Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Ibu-Kota Jogyakarta. Djika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat mendjalankan kewadjibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra”.

Telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi di karenakan sulitnya sistem komunikasi pada saat itu, namun ternyata pada saat bersamaan ketika mendengar berita bahwa tentara Belanda telah menduduki Ibukota Yogyakarta dan menangkap sebagian besar pimpinan Pemerintahan Republik Indonesia, tanggal 19 Desember sore hari, Sjafruddin Prawiranegara segera mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok, Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government). Gubernur Sumatra Mr TM Hasan menyetujui usul itu “demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara”.
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dijuluki “penyelamat Republik”. Dengan mengambil lokasi di suatu tempat di daerah Sumatera Barat, pemerintahan Republik Indonesia masih tetap eksis meskipun para pemimpin Indonesia seperti Soekarno-Hatta telah ditangkap Belanda di Yogyakarta. Sjafruddin Prawiranegara menjadi Ketua PDRI dan kabinetnya yang terdiri dari beberapa orang menteri. Meskipun istilah yang digunakan waktu itu “ketua”, namun kedudukannya sama dengan presiden. Sjafruddin menyerahkan mandatnya kemudian kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia sebagai negara bangsa yang sedang mempertaankan kemerdekaan dari agresor Belanda yang ingin kembali berkuasa. Setelah menyerahkan mandatnya kembali kepada presiden Soekarno, Syafruddin Prawiranegara tetap terlibat dalam pemerintahan dengan menjadi menteri keuangan. Pada Maret 1950, selaku Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, ia melaksanakan pengguntingan uang dari nilai Rp 5 ke atas, sehingga nilainya tinggal separuh. Kebijaksanaan moneter yang banyak dikritik itu dikenal dengan julukan Gunting Syafruddin.

PRRI

Akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat karena ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi dan juga pengaruh komunis (terutama PKI) yang semakin menguat, pada awal tahun 1958, Syafruddin Prawiranegara dan beberapa tokoh lainnya mendirikan PRRI yang berbasis di sumatera tengah dan ia di tunjuk sebagai Presidennya.

Dakwah

Setelah bertahun-tahun berkarir di dunia politik, Syafrudin Prawiranegara akhirnya memilih lapangan dakwah sebagai kesibukan masa tuanya. Dan, ternyata, tidak mudah. Berkali-kali bekas tokoh Partai Masyumi ini dilarang naik mimbar. Juni 1985, ia diperiksa lagi sehubungan dengan isi khotbahnya pada hari raya Idul Fitri 1404 H di masjid Al-A’raf, Tanjung Priok, Jakarta.
“Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan, bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah,” ujar ketua Korp Mubalig Indonesia (KMI) itu tentang aktivitasnya itu.
Di tengah kesibukannya sebagai mubalig, bekas gubernur Bank Sentral 1951 ini masih sempat menyusun buku Sejarah Moneter, dengan bantuan Oei Beng To, direktur utama Lembaga Keuangan Indonesia.
Syafruddin Prawiranegara meninggal pada 15 Februari 1989 di makamkan di Tanah Kusir Jakarta Selatan.

1 Abad Syafrudin Prawiranegara

Jakarta-Puncak acara satu abad Sjafruddin Prawiranegara dipilih tanggal 28 Februari 2011, bertepatan tanggal kelahirannya, di Kantor Pusat Bank Indonesia (BI) di Jakarta. Dalam kesempatan tersebut, Panitia Satu Abad Mr Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011) meluncurkan buku biografi Mr Sjafruddin Prawiranegara, Presiden/Ketua PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia). Panitia menyelenggarakan serangkaian acara satu abad Sjafruddin Prawiranegara melalui seminar-seminar bertema sosok dan kiprah Sjafruddin, utamanya selaku Presiden/Ketua PDRI, dibantu wakilnya Teuku Mohammad Hasan. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) turut memfasilitasi acara pengakuan jasa Sjafruddin sebagai Menteri Kemakmuran RI yang membentuk “Pemerintahan Republik Darurat” di Sumatera. Menurut Ketua Panitia, Andi Mapetahang Fatwa atau AM Fatwa, serangkaian acara bermaksud menghimpun sejarah sosok dan kiprah Mr Sjafruddin Prawiranegara (1911-2011) yang tidak tercatat. “Ada serpihan sejarah yang tidak tercatat, apalagi ia belum menjadi pahlawan nasional,” kata Fatwa, juga anggota DPD asal DKI Jakarta, di Kompleks Parlemen (MPR/DPR/DPD),

Fatwa menjelaskan, rencananya puncak acara dihadiri Wakil Presiden Boediono menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang tengah melawat ke Brunei Darussalam. Setelah pengantar acara, Ketua Panitia meluncurkan buku biografi Sjafruddin diikuti sambutan Gubernur BI, pembacaan pidato Presiden, puisi oleh Taufiq Ismail, serta hiburan biola Idris Sardi dan lagu-lagu Bimbo. Setelah puncak acara, panitia menyelenggarakan seminar sosok dan kiprah Sjafruddin di Gedung DPD di Jakarta, seminar pemikiran ekonomi Sjafruddin di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) di Semarang yang rencananya dihadiri mantan Perdana Menteri (PM) Malaysia Anwar Ibrahim, seminar napak tilas perjuangan Sjafruddin di Padang Aro (Solok Selatan), serta seminar-seminar PDRI di Padang (Sumatera Barat) dan Banda Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam).

Fatwa juga mengatakan, peringatan satu abad Sjafruddin Prawiranegara bertujuan agar rakyat Indonesia, utamanya kaum muda yang relatif tidak begitu mengenal sosok dan kiprahnya, menjadi lebih mengenal Sjafruddin sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan. “Kami mengajak seluruh rakyat Indonesia agar berdamai dengan sejarah,” ujarnya, apalagi Pemerintah telah menetapkan tanggal 19 Desember sebagai Hari Bela Negara. Sampai saat ini Mr. Presiden kita belum juga mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, hal ini membuat kita terutama generasi muda berdosa jika tidak menghargai jasa-jasa beliau yang sangat penting berkenaan dengan penyelamatan Republik ini dari kekosongan kekuasaan.

Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional Indonesia



Oleh : Prof. DR. Yusril Ihza Mahendra

Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,

Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk ikut berpartisipasi dalam seminar tentang Hukum Islam di Asia Tenggara yang diselenggarakan mulai hari ini. Saya tidak dapat mengatakan bahwa saya adalah ahli di bidang Hukum Islam, mengingat fokus kajian akademis saya adalah hukum tatanegara. Namun mengingat topik seminar ini adalah transformasi syariat Islam ke dalam hukum nasional, maka titik singgungnya dengan hukum tata negara, sejarah hukum, sosiologi hukum dan filsafat hukum kiranya jelas keterkaitannya. Bidang-bidang terakhir ini juga menjadi minat kajian akademis saya selama ini.

Sebab itulah, saya memberanikan diri untuk ikut berpartisipasi dalam seminar ini, dengan harapan, sayapun akan dapat belajar dari para pemakalah yang lain dan para peserta seminar ini. Saya bukan pura-pura tawaddhu’, karena saya yakin sayapun dapat berguru menimba ilmu dengan mereka.

Akar Historis dan Sosiologis Hukum Islam
 
Sepanjang telaah tentang sejarah hukum di Indonesia, maka nampak jelas kepada saya, bahwa sejak berabad-abad yang lalu, hukum Islam itu telah menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam di negeri ini. Betapa hidupnya hukum Islam itu, dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan yang disampaikan masyarakat melalui majalah dan koran, untuk dijawab oleh seorang ulama atau mereka yang mengerti tentang hukum Islam.
 
Ada ulama yang menerbitkan buku soal jawab, yang isinya adalah pertanyaan dan jawaban mengenai hukum Islam yang membahas berbagai masalah. Organisasi-organisasi Islam juga menerbitkan buku-buku himpunan fatwa, yang berisi bahasan mengenai soal-soal hukum Islam. Kaum Nahdhiyin mempunyai Al-Ahkamul Fuqoha, dan kaum Muhammadiyin mempunyai Himpunan Putusan Tarjih. Buku Ustadz Hassan dari Persis, Soal Jawab, dibaca orang sampai ke negara-negara tetangga.

Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan al-Hadith. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka jalankan.

Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat tergantung kepada kompisi besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu.

Jika kita melihat kepada perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara di masa lampau, upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk hukum-hukumnya, nampak mendapat dukungan yang besar, bukan saja dari para ulama, tetapi juga dukungan penguasa politik, yakni raja-raja dan para sultan. Kita masih dapat menyaksikan jejak peninggalan kehidupan sosial keagamaan Islam dan pranata hukum Islam di masa lalu di Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta Ternate dan Tidore. Juga di Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten dan Cirebon di Jawa.

Semua kerajaan dan kesultanan ini telah memberikan tempat yang begitu penting bagi hukum Islam. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama. Kerajaan atau kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam— setidak-tidaknya di bidang hukum keluarga dan hukum perdata — sebagai hukum positif yang berlaku di negerinya. Kerajaan juga membangun masjid besar di ibukota negara, sebagai simbol betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di negara mereka.

Pelaksanaan hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para kadi, yang diangkat sendiri oleh masyarakat Islam setempat, kalau ditempat itu tidak dapat kekuasaan politik formal yang mendukung pelaksanaan ajaran dan hukum Islam. Di daerah sekitar Batavia pada abad ke 17 misalnya, para penghulu dan kadi diakui dan diangkat oleh masyarakat, karena daerah ini berada dalam pengaruh kekuasaan Belanda.
Masyarakat yang menetap di sekitar Batavia adalah para pendatang dari berbagai penjuru Nusantara dengan aneka ragam bahasa, budaya dan hukum adatnya masing-masing. Di sekitar Batavia ada pula komunitas “orang-orang Moors” yakni orang-orang Arab dan India Muslim, di samping komunitas Cina Muslim yang tinggal di kawasan Kebon Jeruk sekarang ini.

Berbagai suku yang datang ke Batavia itu menjadi cikal bakal orang Betawi di masa kemudian.Pada umumnya mereka beragama Islam. Agar dapat bergaul antara sesama mereka, mereka memilih menggunakan bahasa Melayu. Sebab itu, bahasa Betawi lebih bercorak Melayu daripada bercorak bahasa Jawa dan Sunda. Mereka membangun mesjid dan mengangkat orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang ajaran Islam, untuk menangani berbagai peristiwa hukum dan menyelesaikan sengketa di antara mereka. Hukum Adat yang mereka ikuti di kampung halamannya masing-masing, agak sukar diterapkan di Batavia karena penduduknya yang beraneka ragam. Mereka memilih hukum Islam yang dapat menyatukan mereka dalam suatu komunitas yang baru.

Pada awal abad ke 18, Belanda mencatat ada 7 masjid di luar tembok kota Batavia yang berpusat di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa dan Musium Fatahillah sekarang ini. Menyadari bahwa hukum Islam berlaku di Batavia itu, maka Belanda kemudian melakukan telaah tentang hukum Islam, dan akhirnya mengkompilasikannya ke dalam Compendium Freijer yang terkenal itu. Saya masih menyimpan buku antik Compendium Freijer itu yang ditulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu tulisan Arab, diterbitkan di Batavia tahun 1740.

Kompilasi ini tenyata, bukan hanya menghimpun kaidah-kaidah hukum keluarga dan hukum perdata lainnya, yang diambil dari kitab-kitab fikih bermazhab Syafii, tetapi juga menampung berbagai aspek yang berasal dari hukum adat, yang ternyata dalam praktek masyarakat di masa itu telah diadopsi sebagai bagian dari hukum Islam. Penguasa VOC di masa itu menjadikan kompendium itu sebagai pegangan para hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara di kalangan orang pribumi, dan diberlakukan di tanah Jawa.

Di pulau Jawa, masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan hukum Islam itu melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di pondok-pondok pesantren, demikian pula di tempat-tempat lain seperti di Madura. Di daerah-daerah di mana terdapat struktur kekuasaan, seperti di Kerajaan Mataram, yang kemudian pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, masalah keagamaan telah masuk ke dalam struktur birokrasi negara. Penghulu Ageng di pusat kesultanan, menjalankan fungsi koordinasi kepada penghulu-penghulu di kabupaten sampai ke desa-desa dalam menyelenggarakan pelaksanaan ibadah, dan pelaksanaan hukum Islam di bidang keluarga dan perdata lainnya. Di Jawa, kita memang menyaksikan adanya benturan antara hukum Islam dengan hukum adat, terutama di bidang hukum kewarisan dan hukum tanah.

Namun di bidang hukum perkawinan, kaidah-kaidah hukum Islam diterima dan dilaksanakan dalam praktik. Benturan antara hukum Islam dan hukum Adat juga terjadi di Minangkabau. Namun lama kelamaan benturan itu mencapai harmoni, walaupun di Minangkabau pernah terjadi peperangan antar kedua pendukung hukum itu.
Fenomena benturan seperti digambarkan di atas, nampaknya tidak hanya terjadi di Jawa dan Minangkabau. Benturan ituterjadi hampir merata di daerah-daerah lain, namun proses menuju harmoni pada umumnya berjalan secara damai. Masyarakat lama kelamaan menyadari bahwa hukum Islam yang berasal dari “langit” lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan hukum adat yang lahir dari budaya suku mereka. Namun proses menuju harmoni secara damai itu mula terusik ketika para ilmuwan hukum Belanda mulai tertarik untuk melakukan studi tentang hukum rakyat pribumi.

Mereka “menemukan” hukum Adat. Berbagai literatur hasil kajian empiris, yang tentu didasari oleh pandangan-pandangan teoritis tertentu, mulai menguakkan perbedaan yang tegas antara hukum Islam dan Hukum Adat, termasuk pula falsafah yang melatarbelakanginya serta asas-asasnya.

Hasil telaah akademis ini sedikit-banyak mempengaruhi kebijakan politik kolonial, ketika Pemerintah Hindia Belanda harus memastikan hukum apa yang berlaku di suatu daerah jajahan, atau bahkan juga di seluruh wilayah Hindia Belanda. Dukungan kepada hukum Adat ini tidak terlepas pula dari politik devide et impera kolonial. Hukum Adat akan membuat suku-suku terkotak-kotak. Sementara hukum Islam akan menyatukan mereka dalam satu ikatan. Dapat dimengerti jika Belanda lebih suka kepada hukum Adat daripada hukum Islam.

Dari sini lahirlah ketentuan Pasal 131 jo Pasal 163 Indische Staatsregeling, yang tegas-tegas menyebutkan bahwa bagi penduduk Hindia Belanda ini, berlaku tiga jenis hukum, yakni Hukum Belanda untuk orang Belanda, dan Hukum Adat bagi golongan Tmur Asing -– terutama Cina dan India — sesuai adat mereka, dan bagi Bumiputra, berlaku pula hukum adat suku mereka masing-masing. Di samping itu lahir pula berbagai peraturan yang dikhususkan bagi orang bumiputra yang beragama Kristen.

Hukum Islam, tidak lagi dianggap sebagai hukum, terkecuali hukum Islam itu telah diterima oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya adalah hukum Adat, bukan hukum Islam. Inilah teori resepsi yang disebut Professor Hazairin sebagai “teori iblis” itu. Belakangan teori ini menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan ahli-ahli hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia sampai jauh di kemudian hari. Posisi hukum Islam yang keberlakuannya tergantung pada penerimaan hukum Adat itu tetap menjadi masalah kontroversial sampai kita merdeka.

Karena merasa hukum Islam dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah Kolonial Belanda, maka tidak heran jika dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di negara Indonesia merdeka nanti, negara itu harus berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, seperti disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau kalimat ini dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kita merdeka. Rumusan penggantinya ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Debat mengenai Piagam Jakarta terus berlanjut, baik dalam sidang Konstituante maupun sidang MPR di era Reformasi. Ini semua menunjukkan bahwa sebagai aspirasi politik, keinginan untuk mempertegas posisi hukum di dalam konstitusi itu tidak pernah padam, walau tidak pernah mencapai dukungan mayoritas.

Patut kita menyadari bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 itu, dilihat dari sudut pandang hukum, sebenarnya adalah “penerus” dari Hindia Belanda. Jadi bukan penerus Majapahit, Sriwijaya atau kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu. Ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 yang mengatakan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”. Dalam praktek yang dimaksud dengan peraturan yang ada dan masih langsung berlaku itu, tidak lain ialah peraturan perundang-undangan Hindia Belanda. Bukan peraturan Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, atau kerajaan lainnya. Bukan pula meneruskan peraturan pemerintah militer Jepang, sebagai penguasa terakhir negeri kita sebelum kita membentuk negara Republik Indonesia.

Setelah kita merdeka, tentu terdapat keinginan yang kuat dari para penyelenggara negara untuk membangun hukum sendiri yang bersifat nasional, untuk memenuhi kebutuhan hukum negara yang baru. Keinginan itu berjalan seiring dengan tumbuhnya berbagai kekuatan politik di negara kita, di samping tumbuhnya lembaga-lembaga negara, serta struktur pemerintahan di daerah. Pembangunan hukum di bidang tatanegara dan administrasi negara tumbuh pesat. Namun kita harus mengakui pembangunan hukum di bidang hukum pidana dan perdata, termasuk hukum ekonomi berjalan sangat lamban. Baru di era Pemerintahan Orde Baru, kita menyaksikan proses pembangunan norma-norma hukum di bidang iniberjalan relatif cepat untuk mendukung pembangunan ekonomi kita.

Keadaan ini berjalan lebih cepat lagi, ketika kita memasuki era Reformasi. Ketika UUD 1945 telah diamandeman, kekuasaan membentuk undang-undang yang semula ada di tangan Presiden dengan persetujuan DPR diubah menjadi sebaliknya, maka makin banyak lagi norma-norma hukum baru yang dilahirkan. Burgerlijk Wetboek atau KUH Perdata peninggalan Belanda telah begitu banyak diubah dengan berbagai peraturan perundang-undangan nasional, apalagi ketentuan-ketentuan di bidang hukum dagang dan kepailitan, yang kini dikategorikan sebagai hukum ekonomi.

Namun Wetboek van Sraftrechts atau KUH Pidana masih tetap berlaku. Tetapi berbagai norma hukum baru yang dikategorikan sebagai tindak pidana khusus telah dilahirkan, sejalan dengan pertumbuhan lembaga-lembaga penegakan hukum, dan upaya untuk memberantas berbagai jenis kejahatan. Kita misalnya memiliki UU Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika, Terorisme dan sebagainya.
Kebijakan Pembangunan Hukum
 
Setelah kita merdeka, kita telah memiliki undang-undang dasar, yang kini, oleh Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2004, diletakkan dalam hirarki tertinggiperaturan perundang-undangan kita. Setelah MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan ketetapan, maka semua undang-undang harus mengacu langsung kepada undang-undang dasar.Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan uji materil terhadap undang-undang dasar. Kalau mahkamah berpendapat bahwa materi pengaturan di dalam undang-undang bertentangan dengan pasal-pasal tertentu di dalam undang-undang dasar, maka undang-undang itu dapat dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku, baik sebagian maupun seluruhnya.

Dilihat dari sudut teori ilmu hukum, undang-undang dasar adalah sumber hukum. Artinya undang-undang dasar itu adalah sumber dalam kita menggali hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif, dalam hal ini undang-undang. Sudah barangtentu undang-undang dasar semata, tidaklah selalu dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam merumuskan norma hukukm positif, mengingat sifat terbatas dari pengaturan di dalam undang-undang dasar itu sendiri. Undang-undang dasar adalah hukum dasar yang tertulis, yang pada umumnya memuat aturan-aturan dasar dalam penyelenggaran negara, kehidupan sosial dan ekonomi, termasuk jaminan hak-hak asasi manusia dan hak asasi warganegara.

Di samping undang-undang dasar terdapat hukum dasar yang tidak tertulis, yakni berbagai konvensi yang tumbuh dan terpelihara di dalam praktik penyelenggaraan negara. Dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif di bidang hukum tatanegara dan administrasi negara khususnya, bukan hanya hukum dasar yang tertulis yang dijadikan rujukan, tetapi juga hukum dasar yang tidak tertulis itu.

Dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif lainnya, para perumus kaidah-kaidah hukum positif harus pula merujuk pada faktor-faktor filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa kita, komposisi kemajemukan bangsa kita, kesadaran hukum masyarakat, dan kaidah-kaidah hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebab itulah, dalam merumuskan kaidah hukum postif,kita tidak boleh bertindak sembarangan, oleh karena jika kaidah-kaidah yang kita rumuskan itu bertentangan dengan apa yang saya sebutkan ini, maka kaidah hukum yang kita rumuskan itu sukar untuk dilaksanakan di dalam praktik.

Unsur-unsur filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa kita, komposisi kemajemukan bangsa kita, dapat kita simak di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Tentu kita dapat menguraikan dan menafsirkan rumusan-rumusan itu dari sudut filsafat hukum, walau tentu di kalangan para ahli akan terdapat perbedaan-perbedaan penekanan dan pandangan.
Syariat, Fikih, dan Qanun
 
Dari uraian-uraian di atas, timbullan pertanyaan, di manakah letak atau posisi hukum Islam yang saya maksudkan, dalam hukum nasional kita? Sebelum menguraikan lebihlanjut jawaban atas pertanyaan ini, saya harus menguraikan lebih dulu, apakah yang dimaksud dengan “hukum Islam” itu dalam perspektif teoritis ilmu hukum.Kalau kita membicarakan hukum Islam,kita harus membedakannya antara syariat Islam, fikih Islam dan qanun. Mengenai syariat Islam itu sendiri, ada perbedaan pandangan di kalangan para ahli. Ibnu Taymiyyah misalnya berpendapat bahwa keseluruhan ajaran Islam yang dijumpai di dalam al-Qur’an dan al-Hadith itu adalah syariat Islam. Namun untuk kepentingan studi ilmu hukum pengertian yang sangat luas seperti diberikan Ibnu Taymiyyah itu tidak banyak membantu.

Ada baiknya jika kita membatasi syariat Islam itu hanya kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith yang secara ekspilisit mengandung kaidah hukum di dalamnya. Kita juga harus membedakannya dengan kaidah-kaidah moral sebagai norma-norma fundamental, dan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan sopan santun. Dengan pembatasan seperti ini, maka dengan merujuk kepada pendapat Abdul Wahhab al-Khallaf, maka kaidah-kaidah hukum dalam syariah itu — baik di bidang peribadatan maupun di bidang mu’amalah — tidaklah banyak jumlahnya.

Al-Khallaf menyebutkan ada 228 ayat al-Qur’an yang dapat dikategorikan mengandung kaidah-kaidah hukum di bidang mu’amalah tadi, atau sekitar 3 persen dari keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an.Rumusan kaidah-kaidah hukum di dalam ayat-ayat itu pada umumnya masih bersifat umum. Dengan demikian, belum dapat dipraktikkan secara langsung, apalagi harus dianggap sebagai kaidah hukum positif yang harus dijalankan di sebuah negara. Bidang hukum yang diatur secara rinci di dalam ayat-ayat hukum sesungguhnya hanya terbatas di bidang hukum perkawinan dan kewarisan.

Bidang-bidang hukum yang lain seperti hukum ekonomi, pidana, diberikan asas-asasnya saja. Khsus dibidang pidana, ada dirmuskan berbagai delik kejahatan dan jenis-jenis sanksinya, yang dikategorikan sebagai hudud dan ta’zir. Kalau kita menelaah hadith-hadith Rasulullah, secara umum kitapun dapat mengatakan bahwa hadith-hadith hukum jumlahnya juga tidak terlalu banyak. Dalam sejarah perkembangannya, ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith syar’ah telah mengalami pembahasan dan perumusan yang luar biasa. Pembahasan itulah yang melahirkan fikih Islam. Saya kira fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para sahabat dan para ulama di kemudian hari, sejauh menyangkut masalah hukum, dapat pula dikategorikan ke dalam fikih Islam. Sepanjang sejarahnya pula, norma-norma syar’ah telah diangkat menjadi kaidah hukum positif di kekhalifahan, kesultanan atau kerajaan Islam di masa lalu. Dari sinilah lahir kodifikasi hukum Islam, yang dikenal dengan istilah Qanun itu.

Pembahasan dalam fikih Islam telah melahirkan karya-karya ilmiah di bidang hukum yang amat luar biasa. Para ahli hukum Islam juga membahas filsafat hukum untuk memahami pesan-pesan tersirat al-Qur’an dan hadith, maupun di dalam merumuskan asas-asas dan tujuan dirumuskannnya suatu kaidah. Fikih Islam telah melahirkan aliran-aliran atau mazhab-mazhab hukum, yang mencerminkan landasan berpikir, perkembangan sosial masyarakat di suatu zaman, dan kondisi politik yang sedang berlaku. Fikih Islam juga mengadopsi adat kebiasaan yang berlaku di suatu daerah. Para fuqaha kadang-kadang juga mengadopsi hukum Romawi. Menelaah fikih Islam dengan seksama akan mengantarkan kita kepada kesimpulan, betapa dinamisnya para ilmuwan hukum Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Walau, tentunya ada zaman keemasan, ada pula zaman kemunduran.

Patut kita sadari Islam masuk ke wilayah Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya, dan kemudian membentuk masyarakat poltis pada penghujung abad ke 13, ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Timur Tengah dan Eropa telah mengalami kemunduran. Ulama-ulama kita di zaman itu nampaknya belum dibekali kemampuan intelektual yang canggih untuk membahas fikih Islam dalam konetks masyarakat Asia Tenggara, sehingga kitab-kitab fikih yang ditulis pada umumnya adalah ringkasan dari kitab-kitab fikih di zaman keemasan Islam, dan ketika mazhab-mazhab hukum telah terbentuk. Namun demikian, upaya intelektual merumuskan Qanun tetap berjalan.

Di Melaka, misalnya mereka menyusun Qanun Laut Kesultanan Melaka. Isinya menurut hemat saya, sangatlah canggih untuk ukuran zamannya, mengingat Melaka adalah negara yang bertanggungjawab atas keamanan selat yang sangat strategis itu. Qanun Laut Kesultanan Melaka itu mengilhami qanun-qanun serupa di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara yang lain, seperti di Kesultanan Bima.
Keberlakuan Hukum Islam
 
Dengan uaraian-uraian di atas itu, saya ingin mengatakan bahwa hukum Islam di Indonesia, sesungguhnya adalah hukum yang hidup, berkembang, dikenal dan sebagiannya ditaati oleh umat Islam di negara ini. Bagaimanakah keberlakuan hukum Islam itu?Kalau kita melihat kepada hukum-hukum di bidang perubadatan, maka praktis hukum Islam itu berlaku tanpa perlu mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif, seperti diformalkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur tatacara menjalankan solat lima waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum positif. Bahwa solat lima waktu itu wajib fardhu ‘ain menurut hukum Islam, bukanlah urusan negara.

Negara tidak dapat mengintervensi, dan juga melakukan tawar menawar agar solat lima waktu menjadi sunnah mu’akad misalnya. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan yang dapat memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan hukum-hukum peribadatan itu, atau paling jauh adalah aspek-aspek hukum administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari suatu kaidah hukum Islam.

Ambillah contoh di bidang hukum perburuhan, tentu ada aturan yang memberikan kesempatan kepada buruh beragama Islam untuk menunaikan solat Jum’at misalnya. Begitu juga di bidang haji dan zakat, diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan jemaah haji, administrasi zakat dan seterusnya. Pengaturan seperti ini, berkaitan erat dengan fungsi negara yang harus memberikan pelayanan kepada rakyatnya. Pengaturan seperti itu terkait pula dengan falsafah bernegara kita, yang menolak asas “pemisahan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan” yang dikonstatir ole Professor Soepomo dalam sidang-sidang BPUPKI, ketika para pendiri bangsa menyusun rancangan undang-undang dasar negara merdeka.

Adapun hal-hal yang terkait dengan hukum perdata seperti hukum perkawinan dan kewarisan, negara kita menghormati adanya pluralitas hukum bagi rakyatnya yang majemuk, sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Bidang hukum perkawinan dan kewarisan termasuk bidang hukum yang sensitif, yang keterkaitannya dengan agama dan adat suatu masyarakat. Oleh sebab itu, hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan diakui secara langsung berlaku, dengan cara ditunjuk oleh undang-undang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, secara tegas menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu.

Di sini bermakna, keabsahan perkawinan bagi seorang Muslim/Muslimah adalah jika sah menurut hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sebagaimana halnya di zaman VOC telah ada Compendium Frijer, maka pada masa Orde Baru juga telah dirumuskan Kompilasi Hukum Islam, walau dasar keberlakuannya hanya didasarkan atas Instruksi Presiden.

Setahun yang lalu, Pemerintah telah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Terapan Pengadilan Agama. RUU ini merupakan upaya untuk mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat menjadi hukum positif. Cakupannya adalah bidang-bidang hukum yang menjadi kewenangan dari Peradilan Agama. Tentu saja subyek hukum dari hukum positif ini nantinya berlaku khusus bagi warganegara yang beragama Islam, atau yang secara sukarela menundukkan diri kepada hukum Islam.

Presiden dan DPR juga telah mensahkan Undang-Undang tentang Wakaf, yang mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islamke dalam hukum positif. Berbagai undang-undang yang terkait dengan hukum bisnis juga telah memberikan tempat yang sewajarnya bagi kaidah-kaidah hukum Islam yang berkaitan dengan perbankan dan asuransi.
Syariat sebagai Sumber Hukum
 
Suatu hal yang agak “krusial” sehubungan dengan syariat Islamdalam kaitannya dengan hukum positif ialah kaidah-kaidahnya di bidang hukum pidana dan hukum publik lainnya. Kaidah-kaidah hukum pidana di dalam sayariat itu dapat dibedakan ke dalam hudud dan ta’zir. Hudud adalah kaidah pidana yang secara jelas menunjukkan perbuatan hukumnya (delik) dan sekaligus sanksinya. Sementara ta’zir hanya merumuskan delik, tetapi tidak secara tegas merumuskan sanksinya. Kalau kita membicarakan kaidah-kaidah di bidang hukum pidana ini, banyak sekali kesalahpahamannya, karena orang cenderung untuk melihat kepada sanksinya, dan bukan kepada perumusan deliknya.

Sanksi-sanksi itu antara lain hukuman mati, ganti rugi dan maaf dalam kasus pembunuhan, rajam untuk perzinahan, hukum buang negeri untuk pemberontakan bersenjata terhadap kekuasaan yang sah dan seterusnya. Kalau kita melihat kepada perumusan deliknya, maka delik hudud pada umumnya mengandung kesamaan dengan keluarga hukum yang lain, seperti Hukum Eropa Kontinental dan Hukum Anglo Saxon. Dari sudut sanksi memang ada perbedaannya.

Sudah barangtentu kaidah-kaidah syariat di bidang hukum pidana, hanya mengatur prinsip-prinsip umum, dan masih memerlukan pembahasan di dalam fikih, apalagi jika ingin transformasi ke dalam kaidah hukum positif sebagai hukum materil. Delik pembunuhan misalnya, bukanlah delik yang sederhana. Ada berbagai jenis pembunuhan, antara lain pembunuhan berencana, pembunuhan salah sasaran,pembunuhan karena kelalaian,pembunuhan sebagai reaksi atas suatu serangan, dan sebagainya. Contoh-contoh ini hanya ingin menunjukkan bahwa ayat-ayat hukum yang mengandung kaidah pidana di dalam syariat belum dapat dilaksanakan secara langsung, tanpa suatu telaah mendalam untuk melaksanakannya.

Problema lain yang juga dapat mengemuka ialah jenis-jenis pemidanaan (sanksi) di dalam pidana hudud. Pidana penjara jelas tidak dikenal di dalam hudud, walaupun kisah tentang penjara disebutkan dalam riwayat Nabi Yusuf. Pidana mati dapat diterima oleh masyarakat kita, walau akhir-akhir ini ada yang memperdebatkannya. Namun pidana rajam, sebagian besar masyarakat belum menerimanya, kendatipun secara tegas disebutkan di dalam hudud. Memang menjadi bahan perdebatan akademis dalam sejarah hukum Islam, apakah jenis-jenis pemidanaan itu harus diikuti huruf demi huruf, ataukah harus mempertimbangkan hukuman yang sesuai dengan penerimaan masyarakat di suatu tempat dan suatu zaman.

Kelompok literalis dalam masyarakat Muslim, tentu mengatakan tidak ada kompromi dalam melaksanakan nash syar’iat yang tegas. Sementara kelompok moderat, melihatnya paling tinggi sebagai bentuk ancaman hukuman maksimal (ultimum remidium), yang tidak selalu harus dijalankan di dalam praktik. Masing-masing kelompok tentu mempunyai argumentasi masing-masing, yang tidak akan diuraikan dalam makalah ini.
Pada waktu tim yang dibentuk oleh Menteri Kehakiman, sejak era Ismail Saleh, diberi tugas untuk merumuskan draf Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, tim perumus nampaknya telah menjadikan hukum yang hidup di dalam masyarakat, sebagai sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum pidana yang bersifat nasional. Karena itu, tidak mengherankan jika ada delik pidana adat — seperti orang yang secara terbuka menyatakan dirinya memiliki kemampuan melakukan santet untuk membunuh orang lain — yang sebelumnya tidak ada di dalam KUHP warisan Belanda, dimasukkan ke dalam draf KUHP Nasional. Demikian pula rumusan pidana perzinahan, nampaknya mengambil rumusan hukum Islam, walaupun tidak dalam pemidanaannya. Dalam draf KUHP Nasional, perzinahan diartikan sebagai hubungan seksual di luar nikah.

Sementara KUHP warisan Belanda jelas sekali perumusannya dipengaruhi oleh hukum Kanonik Gereja Katolik, yang merumuskan perzinahan sebagai hubungan seksual di luar nikah, tetapi dilakukan oleh pasangan, yang salah satu atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain. Dengan demikian, menurut KUHP warisan Belanda, hubungan seksual di luar nikah antara dua orang yang tidak terikat perkawinan— misalnya pasangan kumpul kebo — bukanlahlah perzinahan. Perumusan perzinahan dalam KUHP Belanda ini nampak tidak sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Mereka mengambil rumusan perzinahan dari hukum Islam, tetapi pemidanaanya mengambil jenis pemidaan dari eks hukum Belanda, yakni pidana penjara.

Dari uraian saya yang panjang lebar di atas, terlihat dengan jelas bahwa syari’at Islam, hukum Islam maupun fikih Islam, adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk yang majemuk, maka dalam hal hukum keluarga dan kewarisan, maka hukum Islam itu tetaplah dinyatakan sebagai hukum yang berlaku. Sebagaimana juga halnya, jika ada pemeluk agama lain yang mempunyai hukum sendiri di bidang itu, biarkanlah hukum agama mereka itu yang berlaku. Terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum perdata lainnya, seperti hukum perbankan dan asuransi, negara dapat pula mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam di bidang itu dan menjadikannya sebagai bagian dari hukum nasional kita. Sementara dalam hal hukum publik, yang syariat Islam itu sendiri hanya memberikan aturan-aturan pokok, atau asas-asasnya saja, maka biarkanlah ia menjadi sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum nasional.

Di negara kita, bukan saja hukum Islam – dalam pengertian syariat – yang dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi juga hukum adat, hukum eks kolonial Belanda yang sejalan dengan asas keadilan dan sudah diterima masyarakat, tetapi kita juga menjadikan berbagai konvensi internasional sebagai sumber dalam merumuskan kaidah hukum positif kita. Ketika hukum poistif itu telah disahkan, maka yang berlaku itu adalah hukum nasional kita, tanpa menyebut lagi sumber hukumnya.

Ada beberapa pihak yang mengatakan kalau hukum Islam dijadikan sebagai bagian dari hukum nasional, dan syariat dijadikan sumber hukum dalam perumusan kaidah hukum positif, maka Indonesia, katanya akan menjadi negara Islam. Saya katakan pada mereka, selama ini hukum Belanda dijadikan sebagai hukum positif dan juga dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi saya belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa negara kita ini akan menjadi negara Belanda. UU Pokok Agraria, terang-terangan menyebutkan bahwa UU itu dirumuskan berdasarkan kaidah-kaidah hukum adat, tetapi sampai sekarang saya juga belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa Indonesia sudah menjadi negara Adat.

Di manapun di dunia ini, kecuali negaranya benar-benar sekular, pengaruh agama dalam merumuskan kaidah hukum nasional suatu negara, akan selalu terasa. Konsititusi India tegas-tegas menyatakan bahwa India adalah negara sekular, tetapi siapa yang mengatakan hukum Hindu tidak mempengaruhi hukum India modern. Ada beberapa studi yang menelaah pengaruh Buddhisme terhadap hukum nasional Thailand dan Myanmar. Hukum Perkawinan Pilipina, juga melarang perceraian. Siapa yang mengatakan ini bukan pengaruh dari agama Katolik yang begitu besar pengaruhnya di negara itu. Sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa mengingat hukum Islam itu adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka negara tidak dapat merumuskan kaidah hukum positif yang nyata-nyata bertentangan dengan kesadaran hukum rakyatnya sendiri. Demokrasi harus mempertimbangkan hal ini. Jika sebaliknya, maka negara kita akan menjadi negara otoriter yang memaksakan kehendaknya sendiri kepada rakyatnya.
Wallahu’alam bissawwab.

PENTINGNYA PEMUDA MEMAHAMI SEJARAH BANGSA

Ketertarikan generasi muda terhadap sejarah perjuangan bangsa makin melemah, fakta ini memperjelas gambaran bahwa telah tercipta sebuah sekat berjarak yang dari waktu ke waktu terasa kian melebar antara kaum muda dan sejarah, Diakui atau tidak situasi ini menempatkan generasi muda yang tengah dihinggapi belenggu gegar budaya, dekadensi moral serta krisis nilai yang kian menggurita makin luruh dibawah bayang รข€“ bayang ancaman gegar sejarah yang terasa kian dekat saja.

Tengoklah betapa kini generasi muda gandrung luar biasa kepada sosok asing semisal Che Guevara hingga semua atribut yang umum dikenakan seperti kaos, topi hingga slayer semua bergambar tokoh pejuang yang katanya fenomenal itu. Tentu kenyataan ini sungguh ironis lantaran negeri ini tak pernah kekurangan para pejuang, tokoh pergerakan, pemimpin kharismatik dan figur figur luar biasa yang bisa diangkat menjadi idola. jika ditelusuri lebih dalam lagi ternyata banyak sisi menarik dan moment - moment penting sejarah yang sesungguhnya tidak terungkapkan, uraian sejarah menjadi monoton tanpa menyertakan pergolakan ide, pemikiran dan proses proses penting yang melatarbelakangi sebuah fakta sejarah.

Sejarah seperti tercabut ruhnya sehingga sejarah tanpa jiwa bagi kaum muda menjadi sangat tidak menarik dan membosankan, kaum muda merasa tidak lagi bisa menemukan mata air persatuan yang menyejukkan diantara tingginya keberagaman, tidak lagi menemukan nilai-nilai yang menggetarkan nurani kebangsaan dan tidak pula menemukan magnet yang menggerakkan untuk secara sadar menelusuri jejak panjang perjuangan lewat catatan catatan sejarah bangsa.

SEJARAH BATIK NUSANTARA

Sejarah pembatikan di Indonesia berkaitan erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran agama Islam di Tanah Jawa. kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja yang lain. Kesenian batik ini mulai menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru sekitar tahun 1920,setelah perang Dunia selesai. Adapun kaitan dengan penyebaran agama Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjuangan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang Muslim melawan perekonomian nasional Belanda.

Kesenian batik adalah gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton lalu kesenian batik ini dikembangkan oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria.

ZAMAN MAJAPAHIT

Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung yang adalah riwayat pembatikan didaerah ini, dapat diambil dari peninggalan masa kejayaan kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulung agung dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, yang tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit. Daerah pembatikan sekarang di Mojokerto terdapat di kwali, mojosari,dan daerah-daerah di sekitarnya. Diluar daerah Kabupaten Mojokerto ialah di Jombang.
Ciri khas dari batik dari Mojokerto adalah hampir sama dengan batik-batik keluaran Yogyakarta, yaitu dasarnya putih dan warna coraknya coklat muda dan biru tua. Meskipun pembatikan dikenal sejak jaman Majapahait namun perkembangan batik mulai menyebar pesat didaerah Jawa Tengah Surakarta dan Yogyakata. Hal itu tampak bahwa perkembangan batik di Mojokerto dan Tulung Agung berikutnya lebih dipengaruhi corak batik Solo dan Yogyakarta.
Didalam berkecamuknya tentara kolonial Belanda dengan tentara bala pasukan pangeran Diponegoro maka sebagian tentara bala pasukan Kyai Mojo mengundurkan diri ke timur dan sampai sekarang daerah itu bernama Majan. Sejak zaman penjajahan Belanda hingga zaman kemerdekaan ini desa Majan berstatus desa Merdikan (Daerah Istimewa), dan kepala desanya seorang kiyai yang statusnya Uirun-temurun.Pembuatan batik Majan ini merupakan naluri (peninggalan) dari seni membuat batik zaman perang Diponegoro itu.
Warna babaran batik Majan dan Simo adalah unik karena warna babarannya merah menyala (dari kulit mengkudu) dan warna lainnya dari tom. Sebagai batik setra sejak dahulu kala terkenal juga didaerah desa Sembung, yang para pengusaha batik kebanyakan berasal dari Sala yang datang di Tulungagung pada akhir abad ke-XIX. Hanya sekarang masih terdapat beberapa keluarga pembatikan dari Sala yang menetap didaerah Sembung.